Apa yang Membuat Pembangunan Berkelanjutan Bisa Dilakukan?

Sejarah mengajarkan kepada kita: Tidak ada pembangunan tanpa perdamaian dan keamanan. Dan demikian pula sebaliknya: perdamaian dan keamanan akan percuma tanpa pembangunan. Ambillah contoh konflik di wilayah Sub-Saharan Africa (SSA), menurut catatan Bank Dunia tahun 2022, pertumbuhan ekonomi di SSA diproyeksinya sebesar 2,5% di tahun 2023 dibanding 3,6% di tahun 2022, salah satunya diakibatkan oleh konflik. Global Sustainable Development Report (GSDR, 2023) mencatat konflik menghambat pembangunan berkelanjutan di banyak negara seperti Ukraina, Afganistan, Ethiopia, Venezuela, dan wilayah Sahel. Tercatat sepanjang Maret – Mei 2022, sekitar 26,5 juta orang di wilayah Sahel mengalami krisis pangan dan nutrisi.

Dalam Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) atau SDGs, Tujuan 16 (SDG 16) yang berfokus pada isu perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh menjadi dimensi tersendiri sebagai prasyarat (enabler)tercapainya pembangunan di tiga dimensi lainnya yaitu dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Karena itu, di Indonesia, pelaksanaan SDGs yang berarti juga pelaksanaan pembangunan, menempatkan dimensi perdamaian, keadilan, dan kelembagaan ini menjadi pilar yang mendapatkan perhatian tersendiri.

Membangun masyarakat yang damai dan aman membutuhkan keadilan, inklusivitas, kesetaraan, dengan tata kelola kelembagaan yang baik, transparan, efektif dan akuntabel di setiap tingkatan. Capaian Indonesia pada isu perdamaian di antaranya ditunjukkan dengan indikator terciptanya rasa aman bagi penduduk untuk berjalan di lingkungan tempat tinggalnya pada malam hari. Persentase indikator ini meningkat dari 53,32% (2017) menjadi 62,62% (2020) (BPS).

Dalam aspek keadilan, Indonesia mendapatkan penghargaan Open Government Partnership (OGP) Awards tahun 2023 atas program bantuan hukum bagi individu dan kelompok rentan yang dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memberikan perhatian khusus kepada warga miskin dan kelompok rentan dalam bantuan hukum serta memperluas akses terhadap keadilan. Kepemilikan akta kelahiran juga menjadi indikator penting terpenuhinya keadilan bagi warga negara untuk dapat menerima hak dan akses atas pendidikan (SDG 4), kesehatan (SDG 3), dan pelayanan publik lainnya. Namun, ketimpangan antar wilayah masih menjadi penghambat kepemilikan akta kelahiran. Persentase anak yang memiliki akta kelahiran di Papua (35,25%) masih rendah dibanding Yogyakarta (97,64%) akibat dari akses masyarakat yang masih sulit dijangkau dan masih adanya biaya yang timbul dari proses pembuatannya (BPS, 2021). Persebaran kepemilikan akta kelahiran yang belum merata antarwilayah ini berdampak pada meningkatnya tantangan untuk pemerataan pembangunan dan akses pelayanan dasar kepada masyarakat.

Penguatan kelembagaan dan tata kelola yang baik berkontribusi besar sebagai pendorong pencapaian indikator SDG lainnya. Namun, korupsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia dan menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi (SDG 8), pemerataan pembangunan (SDG 10), dan pencapaian indikator SDGs lainnya.  Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022, meningkat dari tahun 2021 sebanyak 533 kasus. Bertambahnya jumlah kasus yang ditangani menjadi indikasi bahwa program dan kegiatan pemerintah pusat dan daerah masih rentan terhadap praktik korupsi.

Selain itu, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional (TI), meskipun bukan menjadi ukuran pencapaian SDG 16, secara fluktuatif mengalami kecenderungan memburuk. Tahun 2021, Indonesia berada pada ranking 96 dengan skor 38 (pada skala 100) namun turun menjadi 34 dan berada pada ranking 110 dari 180 negara di tahun 2022.

Salah satu hal yang patut mendapat perhatian adalah perilaku antikorupsi di tengah masyarakat yang menunjukkan peningkatan sejak 2015 hingga 2023. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang mengukur tingkat pemahaman serta pengalaman masyarakat terkait tingkat permisif terhadap praktik korupsi meningkat dari 3,59 (2015) menjadi 3,93 (2022) pada skala 5. Artinya, masyarakat semakin tidak pemisif terhadap perilaku korupsi maupun kebiasaan pelanggengan perilaku korupsi. Ini kabar baik bagi upaya pencegahan korupsi dari akarnya. Namun ini mesti dipercepat. Mengapa? Karena SDGs tersisa hanya tujuh tahun lagi.

Dengan sisa waktu ini, Peta Jalan SDGs Indonesia (Bappenas, 2023) di bidang tata kelola khususnya pencapaian IPAK memproyeksikan kenaikan 0,62 poin menjadi 4,55 dari capaian tahun 2022 melalui intervensi menyeluruh. Salah satunya melalui pembangunan Zona Integritas (ZI) untuk menciptakan unit pemerintahan yang bersih, akuntabel, efektif, efisien dan berorientasi pelayanan publik yang baik. Enam aspek pemerintahan yang harus diintervensi yaitu manajemen perubahan, perbaikan tata laksana, penataan manajemen SDM, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan dan area, peningkatan kualitas pelayanan publik. Harapannya dengan pelaksanaan enam aspek tersebut, tercapai zero rate praktik korupsi dan pungli di unit pelayanan.

Pencegahan korupsi sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat, di antaranya dan khususnya oleh pelaku usaha. Salah satu yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha adalah dengan menerapkan anti-corruption collective action yang merupakan upaya komunitas bisnis untuk melawan praktik korupsi secara kolektif. UN Global Compact mengeluarkan petunjuk agar pelaku usaha secara bersama melakukan empat hal yaitu deklarasi anti-korupsi, inisiatif berbasis prinsip yang berkomitmen melaksanakan standar tidak terlibat korupsi, pakta integritas, dan koalisi bisnis bersertifikasi.

Selain itu, meningkatnya perilaku antikorupsi harus diimbangi dengan upaya pencegahan korupsi di pelayanan publik dengan cara peningkatan kualitas layanan publik, sebagai salah satu perhatian yang disorot SDG 16. Ombudsman RI mencatat dari 587 instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah yang diukur, sekitar 46% (2022) telah mencapai tingkat kepatuhan tinggi atau zona hijau dengan terpenuhinya komponen standar pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik seperti kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, saran pengaduan, pelayanan yang ramah dan nyaman. Agar tata kelola pemerintahan lebih efektif dan berkeadilan, pemerintah telah berupaya untuk menyederhanakan tumpang tindih peraturan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Di antara penyederhanaan peraturannya adalah terkait jenis dan prosedur pelayanan publik.

Percepatan pencapaian SDG 16 menjadi sangat relevan bagi Indonesia saat ini yang tengah menghadapi pemilu serentak dan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional maupun daerah (RPJMN dan RPJMD) tahun 2025 – 2029. Momentum ini menjadi sangat penting bagi para calon wakil rakyat maupun kepala pemerintahan di tingkat nasional dan daerah untuk mengintegrasikan SDGs dalam visi misi para calon pemimpin dan legislatif serta dalam dokumen perencanaan pembangunan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi pemimpin dunia.

Transformasi tata kelola ini bisa dilakukan melalui penguatan fondasi kelembagaan yang tepat fungsi dan kolaboratif, peningkatan kualitas ASN, regulasi yang efektif, digitalisasi pelayanan publik, peningkatan integritas partai politik, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Tata Kelola pemerintahan yang baik, rasa aman, damai, keadilan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah prasyarat ketercapaian pembangunan yang berkelanjutan. Tanpa itu, Indonesia Emas 2045 akan sulit terwujud.

Indriana Nugraheni
Manajer Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola
Sekretariat Nasional SDGs, Kementerian PPN/Bappenas

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

more insights