Jawa Barat – Berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mengamanatkan penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) kepada pemerintah provinsi. Oleh sebab itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia melalui Sekretariat Nasional SDGs didukung oleh pemerintah Jerman (GIZ Indonesia) mengadakan Lokakarya Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Percepatan Pencapaian TPB/SDGs Regional 2 di Avenzel Hotel and Convention, Cibubur. Acara ini salah satu tujuannya adalah untuk mendiskusikan teknis penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) TPB/SDGs. (7/27/2023).
Acara Lokakarya ini berlangsung selama 2 hari, sejak hari Rabu, 26 Juli 2023 sampai Kamis, 27 Juli 2023. Lokakarya kali ini dihadiri oleh berbagai Kepala Bappeda Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Dinas Energi SDM, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Kepala Dinas Perindustrian, dan masih banyak kepala dinas lainnya dari berbagai Provinsi di Indonesia.
Dalam paparan awal yang ditampilkan oleh Yanuar Nugroho, selaku Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs, disebutkan bahwa tantangan dari metadata indikator TPB/SDGs Indonesia edisi II adalah time lag. Time lag ini merupakan jenjang waktu dalam setiap data yang diambil tiap bulan, kurangnya validasi dan verifikasi data dan dinamika/pergerakan data. Maka dari itu, Sekretariat Nasional SDGs akan melakukan validitas, timeliness, dan disagregasi untuk menguatkan metadata yang ada.
Di sesi awal Lokakarya, Manajer Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat Nasional SDGs, Sanjoyo juga menjelaskan bahwa tersedia kode di setiap metadata yang mana menandakan apakah metadata tersebut sudah sesuai atau belum tersedia datanya. Contoh kode tersebut adalah bintang yang menandakan bahwa data tersebut indikatornya sudah selesai, tanda kurung atau di proxy yang mana menandakan bawah capaian tersebut belum terlaksana, dan tanda kurung kotak yang menandakan capaian yang merupakan mandat.
Metadata tersebut merupakan metadata edisi II yang digunakan pada tahun 2022. Metadata yang telah disajikan dan dipresentasikan pada Musrenbangnas tahun 2023 akan digunakan untuk penyusunan RAD setiap provinsi. Penyusunan RAD setiap pemerintah daerah harus dilakukan bersama dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kemudian, di hari pertama Lokakarya Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Pencapaian TPB/SDGs Regional 2, Manajer Monitoring dan Evaluasi, Gantjang Amanullah juga memberikan paparan terkait Mekanisme Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan RAD SDGs. Gantjang Amanullah mengatakan bahwa Pelaporan SDGs mengacu pada pedoman Monitoring dan Evaluasi edisi II.
Alur Monitoring di tingkat daerah dapat dimulai dari kelompok kerja per pilar SDGs, kemudian Laporan monev disampaikan ke deputi monev Bappenas dan Kemendagri. Pengisian matriks adalah bentuk penilaian diri sukarela. Kemudian Matriks melaporkan sebanyak 289 indikator untuk 17 goals tergantung ketersediaan data. Matriks 2A untuk K/L (pemerintah pusat). Lalu terdapat juga Matriks 2B yang digunakan untuk pelaksanaan program di provinsi dan kabupaten/kota. Maka sangat disarankan mengadakan ToT monitoring dan evaluasi untuk kabupaten/kota. Kemudian Matriks 3 (rencana program/kegiatan non pemerintah, seperti OMS/organisasi pemuda, filantropi, dan akademia). Matriks 4 berisi rencana program/kegiatan non pemerintah (pelaku usaha).
Matriks-matriks ini digunakan sebagai tools monitoring capaian anggaran, program, dan pelaksanaannya. Hasil analisis dari monitoring dan evaluasi ini digunakan untuk memetakan dukungan program, kegiatan, realisasi anggaran, realisasi fisik, sebaran kontribusi K/L. Dengan kerja sama Kemendagri e-monev diharapkan dapat membantu pemetaan kontribusi per Organisasi Perangkat Daerah.
Selain paparan dari Sekretariat Nasional SDGs Indonesia, Kepala Pusat Riset dan Inovasi Daerah Provinsi DKI Jakarta, Andhika Ajie juga menyampaikan Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan SDGs yang telah dilakukan. DKI Jakarta hanya memiliki 186 data yang tersedia dari 253 indikator SDGs yang ada pada periode 2017 – 2022. dari 186 indikator, DKI Jakarta sudah mencapai 65 indikatornya. DKI Jakarta mengalami kendala saat proses monitoring, salah satunya adalah kesulitan mengukur dampak dan keterlibatan aktor non pemerintah.
Kemudian, pada tanggal 27 Juli 2023, Lokakarya kembali diadakan dengan pemaparan dari beberapa Kepala Bappeda, seperti Provinsi Gorontalo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan salah satu Local NGO, yaitu Krisna Foundation. Krisna Foundation saat ini sudah bekerja sama dengan pemerintah Jerman (GIZ Indonesia). Kerja sama dilakukan untuk mendukung operasional yang akan memberikan fasilitas kepada berbagai pihak.
Pada hari kedua, Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat Nasional SDGs, Setyo Budiantoro turut menyampaikan Strategi Pembiayaan Inovatif SDGs di Tingkat Daerah. Pengembangan ekosistem pendanaan Inovatif untuk program-program SDFs menjadi salah satu tindak lanjut penguatan pelaksanaan TPB/SDGs di Indonesia. “Kesenjangan pembiayaan semakin melebar di Negara Berkembang. Total kesenjangan pembiayaan sebelum COVID-19 sebesar USD 2,5T/Tahun, sedangkan penurunan pembiayaan swasta (USD 700 miliar) dibandingkan tahun 2019, yang terdiri dari penurunan 80% investasi portofolio di pasar modal, penurunan 123% investasi lainnya dan 35% Foreign Direct Investment, serta penurunan 20% pada aliran remitansi” tegas Setyo Budiantoro pada kamis siang itu.
Selanjutnya Bappeda Provinsi Gorontalo, yang diwakili oleh Ibu Wiwik adalah kesempatan ini menyampaikan best practices pelibatan aktor non pemerintah dalam pelaksanaan SDGs di Provinsi Gorontalo. Provinsi Gorontalo memiliki kawasan konservasi di masing-masing kabupaten. Non State Actor yang ada di Provinsi Gorontalo merupakan salah satu yang memiliki persentase yang cukup besar, yaitu 90% UMK, sehingga perlu upaya yang lebih eras untuk SDGs dapat dipahami oleh seluruh Non State Actor tersebut. Tantangan nyata yang dihadapi Non State Actor ini adalah tidak memiliki struktur sehingga tata kelola organisasi belum bisa berjalan seperti yang seharusnya. Selain itu juga forum keagamaan SDGs telah memiliki ketua dan Sekretaris namun belum ada legalitasnya.
Melanjutkan paparan Provinsi Gorontalo, mewakili Kepala Bappeda Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tanto Kadin, memaparkan mengenai Best practices Implementasi Blended Finance di Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam menurunkan Stunting dalam proses pelaksanaan RAD SDGs. Tantangan yang dihadapi di Kabupaten Timor Tengah Selatan tersebut berupa kemiskinan ekstrem sebesar 25,53%. Penyebabnya adalah jumlah penduduk dan wilayah yang cukup besar dengan kondisi iklim basah selama 4 bulan dan 8 bulan kering. Hal ini didukung dengan rendahnya SDM, infrastruktur yang minim dan rendahnya lapangan kerja di sektor formal.
Saat ini Kabupaten Timor Tengah Selatan, telah menjalin kemitraan dengan 25 NGO di berbagai bidang untuk mengatasi kemiskinan yang ada untuk mendukung pendanaan dalam membangun daerah. Sehingga, penduduk yang banyak dengan daerah yang luas ini bisa mencapai sebuah kesetaraan yang dapat mengurangi angka kemiskinan.
Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan juga menjalin kerjasama dengan Krisna Foundation yang dihadiri oleh Pak Kris telah mengubah komoditi pertanian yang lebih menguntungkan, kemudian juga mendaftarkan 700 jiwa anggota kelompok tani menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan. Lokal NGO ini juga telah melaksanakan MoU dengan Pemerintah Daerah agar lebih jelas mengenai komitmen bersama dan sudah membentuk sekretariat bersama Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan.
Di akhir sesi juga disebutkan, bahwa tujuan dari Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan dan Krisna Foundation menjalin kerja sama adalah untuk menuntaskan SDGs Goals 1 sampai 4, sementara itu kerja sama ini telah mencapai kesepakatan akan juga menuntaskan SDGs Goals 5, 8, 15, dan 16. Selain itu juga, MoU yang ada juga menunjukkan akan melakukan lokal subsidi agar kemiskinan ekstrem dan stunting, dapat teratasi dan juga mengedepankan pertanian karena merupakan hal yang penting dalam sebuah pembangunan.